ELSINDO, PALU– Ancaman terhadap kebebasan pers makin nyata. Di tengah tekanan dan kekerasan yang dialami jurnalis, insan pers di Sulawesi Tengah bersatu dan turun ke jalan. Mereka menuntut perlindungan, keadilan, dan pengakuan atas hak-hak dasar mereka sebagai pekerja media.
Aksi ini digelar pada Jumat, 2 Mei 2025 bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional (1 Mei) dan menjelang Hari Kebebasan Pers Sedunia (3 Mei).
Puluhan jurnalis dari berbagai organisasi tergabung dalam Koalisi Roemah Jurnalis Sulawesi Tengah berkumpul di Sekretariat Roemah Jurnalis di Jalan Ahmad Yani, Palu.
Mereka datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulteng, Pewarta Foto Indonesia (PFI), serta Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulteng.
Dengan membawa spanduk dan poster bertuliskan pesan protes seperti “Jurnalis Juga Buruh”, “Stop Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan”, hingga “Ada Rilis Kami Diundang, Ada Kritik Kami Ditendang”, mereka long march menuju kantor DPRD Sulteng di Jalan Samratulangi.
Dalam aksi simbolik, para jurnalis menanggalkan kartu identitas (ID card) mereka dan memasukkannya ke dalam kantong plastik sampah, lalu menaburkannya dengan bunga dan daun pandan. Ini sebagai bentuk protes atas maraknya kekerasan dan tekanan terhadap jurnalis.
Koordinator lapangan Koalisi Roemah Jurnalis Sulawesi Tengah, Elwin Kandabu, menyebut tahun 2025 sebagai tahun suram bagi dunia pers. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) menghantam industri media, sementara sebagian besar jurnalis belum memiliki serikat pekerja.
“Di daerah, kondisi jurnalis makin memprihatinkan. Mereka bekerja ekstra tanpa upah layak, bahkan status mereka sebagai kontributor pun tak jelas,” ujar Elwin.
Ia juga menyoroti banyaknya intimidasi dan kekerasan fisik yang dialami jurnalis saat menjalankan tugas jurnalistik. Hal ini menambah beban di tengah kesejahteraan yang belum terpenuhi.
Koalisi Roemah Jurnalis Sulawesi Tengah membawa sejumlah tuntutan, di antaranya: mendesak perusahaan media besar untuk memberi upah layak, jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, serta cuti melahirkan bagi jurnalis perempuan.
Mereka juga meminta media nasional untuk mengangkat kontributor daerah menjadi karyawan tetap serta tidak menghalangi terbentuknya serikat pekerja atau melakukan union busting.
Mereka mendesak media lokal di Sulteng untuk segera melakukan verifikasi ke Dewan Pers sebagai bentuk profesionalisme. Selain itu, mereka meminta aparat negara berhenti membungkam jurnalis dengan intimidasi dan kekerasan.
Tuntutan lain yakni mendesak penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta mendorong keterlibatan jurnalis dalam dewan pengupahan dan lembaga ad hoc informasi publik.
Usai berorasi, perwakilan dari organisasi seperti AJI, IJTI, dan PFI secara bergantian menyampaikan sikap. Massa aksi kemudian beraudiensi dengan Wakil Ketua DPRD Sulteng, Aristan, di ruang paripurna.
Dalam audiensi, sejumlah persoalan mengemuka. Mulai dari sulitnya akses informasi dari instansi pemerintah, hingga menurunnya daya kritis jurnalis akibat adanya kerjasama media-pemerintah yang cenderung membungkam.
Menanggapi hal itu, Aristan menyatakan akan menindaklanjuti semua masukan. DPRD Sulteng akan mengagendakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan OPD terkait untuk membahas persoalan yang dihadapi para jurnalis.(**)















