LSF RI Gelar Literasi Gelar Sosialisasi Bidang Perfilman dan Penyensoran di Sulteng

Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF) menggelar sosialisasi secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada bidang pembuat hingga pemilik film agar dapat menghasilkan karya yang bermutu di Sulawesi Tengah. FOTO : Istimewa

Elsindo, Palu – Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF) menggelar sosialisasi secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada bidang pembuat hingga pemilik film agar dapat menghasilkan karya yang bermutu di Sulawesi Tengah. 

Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF) adalah Lembaga Negara yang bersifat tetap dan independen memiliki tugas melakukan penelitian dan penilaian terhadap judul, tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film dan iklan film yang akan diedarkan dan atau dipertunjukkan kepada khalayak umum. 

Ketua Subkomisi Hukum dan Advokasi Lembaga Sensor Film (LSF) RI, Saptari Novia menjelaskan Lembaga Sensor Film (LSF) memiliki salah satu tugas penting, yaitu melaksanakan literasi dan edukasi hukum di bidang perfilman dan penyensoran. 

“Karena itu, kami berkeliling ke berbagai daerah, termasuk ke Palu ini, untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana membuat film yang baik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” jelas Saptari Novia dalam sambutannya, Selasa (11/11/2025).

Diungkapkan, tugas utama LSF ialah melakukan penelitian dan penilaian terhadap film maupun iklan film sebelum diedarkan atau diperkenalkan kepada khalayak umum. Setelah itu, pihaknya juga melakukan penggolongan usia penonton 

“Ada empat klasifikasi usia yang kami tetapkan, yaitu: Semua umur (SU), 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas, dan 21 tahun ke atas. Setelah kami meneliti dan menilai suatu film, kami akan menentukan kategori usia yang sesuai. Harapannya, para pembuat film, termasuk adik-adik mahasiswa dan pelajar di sini, sudah memahami sejak awal ke mana arah filmnya, sehingga ketika masuk proses sensor, sudah sesuai dengan ketentuan yang ada,” ungkapnya. 

Sesuai undang-undang, lanjut Saptari Novia, setiap film dan iklan film yang akan diedarkan wajib memiliki Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dari lembaga yang berwenang, yaitu Lembaga Sensor Film Republik Indonesia. Jika film belum disensor dan langsung ditayangkan di televisi, tentu akan menjadi masalah karena Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPID akan menindaklanjutinya. 

“LSF dan KPI juga sudah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dalam hal ini. Selain film layar lebar, kami juga melakukan penyensoran untuk film yang ditayangkan melalui televisi maupun jaringan teknologi informasi (platform digital). Harapan kami, melalui kegiatan ini, para pembuat film dapat memahami rambu-rambu dan aturan yang perlu diperhatikan,” katanya. 

Dalam melaksanakan tugas, Lembaga Sensor Film Republik Indonesia berpedoman pada beberapa peraturan, di antaranya: Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014, dan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2019.

“Namun, kami juga memperhatikan peraturan lain yang berkaitan, misalnya Undang-Undang Pornografi, karena ada batas-batas tertentu yang harus dijaga dalam adegan film. Tidak hanya soal pornografi, kami juga memperhatikan aspek lain seperti penghormatan terhadap martabat manusia, penyalahgunaan narkotika, dan sebagainya. Semua itu kami teliti dengan cermat,” ujarnya. 

Dirinya ingin menegaskan bahwa setiap pembuat film tetap memiliki kebebasan berkreasi dan berinovasi, tetapi kebebasan itu harus disertai tanggung jawab moral dan sosial. Film yang dibuat harus menjunjung tinggi nilai-nilai agama, budaya, dan etika.

“Bagi film yang akan masuk ke bioskop, wajib memiliki STLS. Jika tidak, pihak bioskop akan menolak penayangan film tersebut. Biaya sensor pun sebenarnya tidak mahal, bahkan bisa dikatakan lebih murah daripada secangkir kopi di kafe. Untuk pelajar dan mahasiswa, kami sedang mengupayakan agar proses sensor bisa digratiskan,” tegasnya.

Tugas sehari-hari di LSF adalah menonton film dari pagi hingga sore, ia menyebut untuk meneliti dan menilai setiap adegan memang terlihat menyenangkan, namun  memiliki tanggung jawab besar. Setiap adegan harus selalu dicatat secara detail, menit dan detiknya.  

“Jika mengandung hal-hal sensitif. Dulu, saat film masih berbentuk seluloid, proses sensor dilakukan dengan cara memotong dan menyambung film. Sekarang, di era digital, kami hanya mencatat adegan yang perlu diperhatikan dan memberikan rekomendasi kepada pembuat film,” terangnya. 

Setiap tahun LSF menyensor sekitar 42 ribu film dan iklan film. Anggota LSF saat ini berjumlah 17 orang, dibantu oleh 34 tenaga sensor. LSF menonton dalam ruang gelap dengan layar besar, sehingga tidak jarang mata para anggota minus bertambah setiap tahunnya. Bahkan saat menonton film horor pun anggota LSF tidak boleh menutup mata semuanya harus diamati secara penuh.

“Selain kegiatan literasi dan edukasi hukum, LSF juga menggelar Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri (GNBSM), yakni gerakan untuk mengedukasi masyarakat agar mampu memilah dan memilih tontonan sesuai usia. Walaupun bioskop telah menerapkan penggolongan usia, masih sering ditemukan orang tua yang membawa anak menonton film yang tidak sesuai umurnya,” ungkapnya. 

“Kadang alasannya sederhana, ingin “me time” berdua dengan pasangan, tapi karena ada anak kecil, akhirnya ikut dibawa menonton. Padahal hal itu bisa berdampak buruk bagi anak dan juga mengganggu penonton lain,” tambahnya. 

Kegiatan literasi hari ini berfokus pada para pembuat film. Setelah film selesai dibuat dan ditayangkan, maka gerakan budaya sensor mandiri berlaku di masyarakat agar penonton pun dapat memilih tontonan yang sesuai.

“Kami berharap, sepulang dari kegiatan ini, para peserta baik komunitas film, siswa, maupun mahasiswa dapat memahami dan menerapkan rambu-rambu penyensoran. Jika nanti film yang dibuat masuk ke LSF, semoga catatannya tidak banyak,” pesan Saptari Novia.

Perlu diketahui, LSF tidak lagi memotong film seperti dulu. Pihaknya hanya memberikan catatan atau rekomendasi revisi tanpa mengubah substansi film. LSF juga ingin mendorong insan perfilman di Palu untuk mengangkat budaya lokal dalam karya film. Apalagi, kata dia, potensi Palu sangat besar mulai dari wisata, kuliner, hingga kekayaan budayanya. 

“Film bisa menjadi media untuk memperkenalkan keindahan dan kearifan lokal daerah ini ke masyarakat luas. Apabila terkendala biaya, bisa berkolaborasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Kami juga siap bekerja sama dalam program atau pelatihan lanjutan,” ujarnya. 

Selain itu, LSF setiap tahun memberikan Anugerah Lembaga Sensor Film kepada pihak-pihak yang peduli pada pendidikan sensor mandiri. Harapannya, ke depan, karya-karya dari Palu bisa ikut berprestasi dan mendapatkan penghargaan tersebut.

“Semoga kegiatan literasi dan edukasi hukum bidang perfilman ini berjalan dengan baik, serta dapat mendorong lahirnya film-film bermutu hasil karya anak bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan moral bangsa Indonesia,” harapnya. (FA)