Oleh: Nasrullah Muhammadong
Pelaksaan hari raya Idul Adha merupakan perayaan qurban. Ini dilakukan dalam rangka (diantaranya) meneladani perilaku pengurbanan dari seorang utusan Allah yang bernama Nabi Ibrahim a.s., bersama putranya “Ismail’.
Kisah pengurbanan Nabi Ibrahim a.s., diawali dengan sebuah mimpi. Sebagaimana diterangkan dalam Surat Asy Syuura: 51, bahwa salah satu cara Tuhan memberi wahyu atau informasi kepada manusia, adalah melalui mimpi.
SIFAT MANUSIAWI
Hanya saja mimpi yang dialami oleh Ibrahim ini, masih menimbulkan keraguan pada dirinya. Mengapa? Karena di dalamnya ada perintah untuk menyembelih manusia.
Dan lebih mengherankan lagi, ternyata itu adalah anaknya sendiri. Sifat manusiawi tetap saja timbul. Apakah ini benar-benar perintah Tuhan atau hanya permainan setan?
Untuk meyakinkan bahwa itu benar-benar suatu perintah, maka Allah menghadirkan mimpi itu tiga kali berturut-turut pada diri Ibrahim.
Hari setelah mimpi pertama, itulah yang disebut Yaumut Tarwiyah yang berarti hari untuk berpikir atau hari yang masih diliputi keraguan. Hari itu jatuh tepat pada tanggal 8 Dzulhijjah.
Hari setelah mimpi kedua, dinamakan Yaumul ‘Arafah, artinya hari mengerti secara yakin. Dinamakan demikian, karena setelah mimpi yang kedua, di situlah muncul keyakinan, bahwa itu benar-benar dari Allah SWT, dan bukan dari setan. Hari Yaumul ‘Arafah ini, tepat jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah. Tempat berlangsungnya mimpi yang kedua ini, dinamakan Padang Arafah.
Adapun hari setelah mimpi yang ketiga, dinamakan Yaumun Nahar, yang artinya hari penyembelihan. Dinamakan demikian, karena pada hari itulah Nabi Ibrahim a.s., berniat untuk menyembelih putra terkasihnya “Ismail”.
Hari penyembelihan itu tepat jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan tanggal 10 Dzulhijjah inilah yang diperingati oleh seluruh muslim di penjuru dunia, sebagai hari raya ‘idul Adha atau hari raya kurban.
Jadi, dari ketiga mimpi itu, mimpi yang pertamalah, yang masih menjadikan Ibrahim diliputi keraguan. Tentu sifat seperti ini, sekali lagi, merupakan sifat yang sangat manusiawi yang pasti terjadi pada diri setiap manusia.
Menarik juga apa yang ditulis Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam bukunya “Markesot Bertutur” (Mizan: 1993). Di bawa judul: “Ibrahim ada di abad 20”, sang kolumnis ini sedikit berimajinasi. Ia mengkhayalkan, bagaimana sekiranya Ibrahim itu hidup di abad 20. Apakah ia akan ditangkap, karena ingin menyembelih anaknya?
Cak Nun menulis begini: “Bilanglah bahwa rencana Anda menyembelih anak Anda itu berdasarkan perintah Allah. Siapa yang bisa menjamin bahwa itu perintah Allah? Apakah para aparat bisa percaya? Apakah mereka boleh percaya? Apa ada kerangka pemahaman yang bisa membuat negara ini meyakini bahwa itu perintah Allah? Lanjut Cak Nun: “Maka, Ibrahim memang harus ditangkap. Ismail harus diselamatkan.
Sepenggal fiksi di atas menggambarkan, bagaimana sifat manusiawi itu muncul, bukan hanya pada diri Ibrahim saja, tapi juga terjadi pada aparat penegak hukum sekalipun (kalau memang itu terjadi di abad kekinian).
SIKAP DEMOKRATIS
Sekarang kita berpindah. Di mana letak demokratisnya Ibrahim ketika akan menyembelih anaknya?
Singkat kisah. Ketika Ibrahim hendak melaksanakan perintah tersebut, maka dibawalah putranya ke dekat kota Mina. Sesampainya di sana, beliau berkata kepada putranya “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?”
Ismail pun menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (Surat Ash-Shaffat: 102).
Bisa diperhatikan ucapan Ibrahim tadi: “Maka pikirkanlah apa pendapatmu?”. Sebuah pertanyaan yang begitu demokratis dan komunikatif. Sang Anak, tetap diberikan hak untuk mengemukakan pendapat. Tak ada kalimat yang meluncur dari utusan Tuhan ini, seperti: “Karena ini adalah perintah Tuhan, maka kau wajib melaksanakannya”.
Lalu, bagaimana jawaban sang anak atas pertanyaan sang ayah? Sang anak langsung menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu…”.
Jawaban spontan dari sang anak tersebut, tentu tak lepas dari doa Ibrahim ketika ingin memiliki seorang anak yang saleh. Doa itu terekam dalam Surat Ash-Shaffat: 100: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh!”
Dikisahkan, ketika Ibrahim mendengar jawaban dari sang anak yang begitu berani tersebut, maka sang nabi ini pun langsung memanjatkan rasa syukur kepada Allah. Karena apa yang beliau panjatkan dahulu ternyata dikabulkan.
Penulis adalah Direktur Yayasan Pelita Bangsa, Sulawesi Tengah