Oleh: Randy Atma R Massi
Dosen Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu
Pelantikan Laskar To Bungku oleh Bupati Morowali, pada Desember 2025 untuk periode 2025-2030 bukan sekadar seremonial budaya. Pengukuhan ini menyimpan makna strategis sebuah upaya menghidupkan kembali nilai-nilai luhur peradaban Bungku yang hampir terlupakan. Sebagai akademisi hukum tata negara yang fokus pada kajian pluralisme hukum dan kearifan lokal, Penulis melihat momentum ini sebagai peluang emas untuk merefleksikan warisan konstitusional Kerajaan Bungku yang progresif sebuah sistem pemerintahan yang telah mempraktikkan prinsip supremasi hukum berabad-abad sebelum Indonesia merdeka.
Peradaban Bungku suatu Sistem Pemerintahan yang Kompleks
Kerajaan Bungku, yang pernah berjaya di wilayah Sulawesi Tengah pada abad ke-17 hingga ke-19, memiliki sistem ketatanegaraan yang jauh lebih canggih dari stereotip “kerajaan tradisional” yang sering kita bayangkan. Manuskrip Belanda yang mendokumentasikan sistem pemerintahan Bungku mengungkapkan struktur birokrasi ganda yang mencerminkan pemahaman mendalam tentang pembagian kekuasaan.
Sistem ini terbagi menjadi Bobato Junia dan Bobato Akherati. Bobato Junia mengurusi urusan duniawi pemerintahan, militer, dan administrasi dipimpin oleh raja (Pea Pua) yang dibantu Koemis Ampat (Komisi Empat) dan Soa Sio Sangaji (dewan perwakilan delapan wilayah). Sementara Bobato Akherati menangani urusan akherat keagamaan dan peradilan syariat dipimpin oleh Kadhi dengan empat imam sebagai majelis hakim.
Pemisahan struktural ini bukan kebetulan. Ia mencerminkan filosofi “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” yang tidak hanya dilaksanakan oleh Masyarakat Minangkabau atau Melayu pada umumnya namun Kerajaan Bungku dimasa lalu juga menjadikan tatanan hierarki norma yang menempatkan Al-Quran sebagai sumber hukum tertinggi, syariat Islam sebagai norma konstitusional, dan adat (termasuk kekuasaan pemerintahan) sebagai norma statutory yang harus selaras dengan keduanya. Dalam terminologi modern, ini adalah aplikasi checks and balances yang memastikan tidak ada kekuasaan absolut.
Supremasi Hukum dalam Praktik
Hal yang paling memukau dari sistem Kebudayaan Bungku dimasa lalu adalah implementasi konkret prinsip equality before the law persamaan kedudukan di hadapan hukum. Dokumen historis Belanda mencatat bagaimana sistem peradilan Syara’ (peradilan syariat) di Kerajaan Bungku beroperasi dengan independensi penuh, bahkan terhadap kekuasaan tertinggi kerajaan.
Dalam sebuah kasus sengketa warisan yang melibatkan keluarga kerajaan, misalnya, syara’ memproses perkara tersebut dengan prosedur yang sama seperti perkara rakyat biasa. Tidak ada pengadilan khusus, tidak ada prosedur istimewa, tidak ada privilege berdasarkan status sosial. Pembuktian dilakukan dengan saksi dan sumpah sesuai ketentuan hukum Islam yang berlaku universal. Putusan yang dikeluarkan bersifat final dan mengikat tanpa ada mekanisme yang memungkinkan penguasa politik membatalkannya berdasarkan kekuasaannya.
Yang lebih mengagumkan, manuskrip Belanda secara eksplisit mencatat bahwa Syara’ bersikap “netral dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun termasuk oleh raja.” Ini adalah manifestasi nyata dari judicial independence independensi peradilan yang kini kita perjuangkan dalam sistem hukum modern.
Relevansi untuk Indonesia Kontemporer
Praktik supremasi hukum Kerajaan Bungku ini kontras tajam dengan realitas penegakan hukum Indonesia kontemporer. Meskipun Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin equality before the law, data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan disparitas signifikan dalam penanganan kasus hukum antara pejabat publik dengan masyarakat umum. Selective enforcement, intervensi kekuasaan terhadap peradilan, dan budaya hukum yang masih menghargai status sosial tetap menjadi persoalan kronis.
Ironisnya, sebuah kerajaan di Sulawesi Tengah berabad-abad lalu telah menunjukkan bagaimana supremasi hukum seharusnya dipraktikkan, melalui desain kelembagaan yang menciptakan checks and balances struktural, bukan sekadar jaminan normatif yang simbolik. Pemisahan antara Bobato Junia dan Bobato Akherati menciptakan institutional barriers terhadap intervensi kekuasaan sesuatu yang masih kita perjuangkan dalam reformasi kekuasaan kehakiman hari ini.
Tanggung Jawab Moral Laskar To Bungku
Inilah mengapa pengukuhan Laskar To Bungku memiliki signifikansi yang melampaui aspek ceremonial. Pemuda Bungku saat ini memikul tanggung jawab moral untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang merupakan peninggalan leluhur nilai supremasi hukum, independensi peradilan, akuntabilitas pemimpin, dan keadilan substantif yang tidak mengenal privilege.
Laskar To Bungku tidak seharusnya hanya menjadi organisasi kepemudaan biasa. Ia harus menjadi guardian of values penjaga nilai-nilai peradaban Bungku yang telah terbukti progresif. Dalam konteks kekinian, ini berarti, pertama, menjadi teladan dalam ketaatan terhadap hukum dan konstitusi, kedua, mengadvokasi penegakan hukum yang adil tanpa diskriminasi, ketiga, memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan keempat, mendokumentasikan serta mendiseminasikan warisan intelektual peradaban Bungku kepada generasi muda.
Pembelajaran bagi Reformasi Hukum Nasional
Dari perspektif legislative drafting perancangan peraturan perundang-undangan sistem Kerajaan Bungku menawarkan pembelajaran berharga. Keberhasilan Bungku menjamin equality before the law bukan karena deklarasi konstitusional yang bombastis, melainkan karena desain kelembagaan yang menciptakan structural safeguards.
Ini mengingatkan kita bahwa reformasi hukum Indonesia tidak cukup dengan mengamandemen konstitusi atau membuat undang-undang baru. Yang diperlukan Adalah pertama, penguatan independensi struktural lembaga peradilan melalui otonomi kelembagaan yang komprehensif, kedua, eliminasi privilege clauses dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan perlakuan istimewa kepada pejabat publik; ketiga, penerapan procedural equality yang ketat dalam hukum acara dan keempat, mekanisme enforcement yang memastikan putusan pengadilan dilaksanakan tanpa terkecuali.
Kerajaan Bungku membuktikan bahwa kearifan lokal Nusantara memiliki kontribusi substantif bagi pengembangan sistem hukum nasional. Pluralisme hukum bukan ancaman bagi kesatuan nasional, melainkan kekayaan yang harus digali untuk memperkaya sistem hukum Indonesia. Filosofi “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” yang juga dipraktikkan mayarakat Bungku dimasa lalu sejalan dengan Pancasila keduanya menempatkan nilai-nilai ketuhanan dan keadilan sebagai fondasi sistem hukum.
Penutup
Pelantikan Laskar To Bungku adalah momentum untuk introspeksi kolektif. Jika sebuah kerajaan kecil di Sulawesi Tengah berabad lalu mampu mempraktikkan supremasi hukum dengan konsisten bahkan terhadap penguasanya sendiri mengapa Indonesia modern dengan sistem demokrasi dan konstitusi yang canggih masih bergulat dengan selective enforcement dan intervensi kekuasaan?
Jawabannya terletak pada komitmen. Supremasi hukum bukan soal sistem semata, tetapi tentang komitmen kolektif seluruh elemen bangsa dari penguasa hingga rakyat untuk menempatkan hukum di atas segala-galanya. Kerajaan Bungku berhasil karena rajanya memberikan teladan ketaatan terhadap hukum, sehingga menciptakan legitimasi dan internalisasi norma di seluruh lapisan masyarakat.
Laskar To Bungku, sebagai generasi penerus peradaban yang adiluhung, memiliki kesempatan emas untuk menunjukkan kepada Indonesia bahwa warisan leluhur bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan inspirasi untuk masa depan. Hidupkanlah nilai-nilai supremasi hukum, independensi peradilan, dan keadilan substantif dalam setiap langkah. Buktikan bahwa Bungku bukan hanya nama geografis, tetapi sebuah peradaban dengan warisan konstitusional yang patut dibanggakan dan diteladani.
Palu, Desember 2025
Randy Atma R Massi adalah Dosen Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu, peneliti hukum tata negara dengan fokus kajian legislative drafting, pluralisme hukum, dan kearifan lokal dalam sistem hukum Indonesia. (**)
















