Oleh: Nasrullah Muhammadong
Menurut KBBI, secara etimologis, kata “puasa”, berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “upavasa”. Artinya, pantangan, penahanan nafsu, minum, dan makan dengan sengaja.
Asal usul kata puasa tadi, juga disinggung oleh Cak Nur dalam bukunya, “30 Sajian Ruhani” (2000). Ia menulis: “kata puasa yang sering kita pakai, diambil dari bahasa Sanskerta dan memiliki arti yang sama dengan kata shawm, yang diambil dari bahasa arab yakni pengendalian diri. Pengendalian diri dalam pengertian dasarnya, yaitu, pengendalian diri atas dorongan berlaku tamak atau serakah. Pemahaman semacam itu erat kaitannya dengan drama kosmis atau peristiwa kejatuhan Adam dari surga ke bumi”.
Lanjut Cak Nur, “Dikisahkan bahwa Adam, sebagai simbol manusia pertama, dikeluarkan dari surga, tempat yang dipenuhi berbagai macam kenikmatan. Meski Adam dan Hawa telah diberkahi kenikmatan yang melimpah, namun mereka tidak mampu menahan dorongan dan godaan berlaku tamak, yaitu perintah untuk tidak memakan hanya satu macam buah yang dilarang, yakni buah khuldi”.
Ada yang menafsirkan, larangan memakan buah khuldi tersebut, itulah perintah pertama dari Tuhan kepada manusia untuk melaksanakan puasa. Sekali lagi, ini soal tafsir (yang dapat diterima atau ditolak).
SPIRITUAL EXERCISE
Dalam buku tersebut, Cak Nur juga menyebut, puasa sebagai spiritual exercise atau pelatihan ruhaniah. Istilah yang dipakai oleh Cak Nur ini, mengingatkan kita pada sebuah kegiatan yang bernama “training atau latihan kader”.
Training yang biasanya dilakukan selama seminggu, kebanyakan diikuti oleh para pemuda yang memiliki ghirah besar untuk memupuk watak, sekaligus menimba ilmu secara dalam. Kita juga bisa menjadikan ramadan ini, sebagai kegiatan pelatihan yang bernama, “Ramadan, Training 30 Hari”. Cuma ada perbedaannya dengan yang pertama tadi.
Dalam training yang biasa dilakukan oleh organisasi keagamaan, engkau melaksanakan kegiatan ritual dengan tekun, misalnya. Tapi itu, dapat saja dilakukan, cuma karena engkau tidak ingin dilihat sebagai kader pembangkang oleh panitia pelaksana. Atau anda begitu disiplin dalam kegiatan itu, cuma karena ada yang mengawasimu.
Di bulan Ramadan ini, bila engkau ingin menjadikannya sebagai bulan training atau arena latihan, tentu tak ada manusia yang melihat atau menekanmu. Engkau dapat saja mengeringkan bibirmu supaya dianggap berpuasa. Atau secara sembunyi-sembunyi makan dan minum, dan tak seorang pun yang tahu.
Namun, bagi mereka yang mejalankannya dengan ikhlas, dan tanpa ada manusia yang melihatnya, mereka tetap tunduk kepada aturan main. Yaitu, berpuasa sampai pada batas waktu yang ditentukan. Mereka menjadikan Allah sebagai pengawas langsung dari segala aktifitasnya, sejak terbit, hingga tenggelamnya matahari .
Tentu untuk menjadi kader pilihan selama 30 hari, kita dituntut memiliki tingkat kesabaran yang cukup super. Dapat dibayangkan, kita diwajibkan meninggalkan segala sesuatu yang selama ini kita sukai.
Misalnya, makan, minum, berhubungan dengan isteri disiang hari, dan seterusnya. Sebaliknya, kita diwajibkan melaksanakan segala sesuatu yang selama ini, kita tidak sukai. Misalnya, rasa lapar, perasaan haus, dan sebagainya.
KASIH SAYANG TUHAN
Di bulan suci yang penuh berkah, curahan kasih sayang-Nya tentu tak terhingga. Misalnya, ampunan-Nya mengalir tiada henti, pahala berlimpah, pun amalan dilipatgandakan.
Sampai-sampai, karena saking sayangnya kepada manusia, Allah sampai tidak mau dosa-dosa hambanya dikatahui oleh para malaikat. Kang Jalal dalam bukunya, “Renungan-Renungan Sufistik” (2004), menulis: “bahwa pada malam lailatul qadar, para malaikat ingin mengetahui perkembangan amalan manusia. Ketika sampai pada daftar kejahatan, tiba-tiba tirai ditutup, sehingga malaikat tidak dapat melihatnya. Para malaikat pun berkata, Maha Suci Allah yang menampakkan yang indah-indah, dan menutupi yang jelek-jelek”.
Tulis beliau, “salah satu bentuk kasih sayang Allah adalah menyembunyikan kejelekan hambanya walaupun hamba itu berbuat jelek. Dia tutup kejelekan itu, sampai kepada malaikat muqoarrabin sekalipun.
Lanjut Kang Jalal, “anda pun dalam kehidupan ini banyak berbuat maksiat, tetapi karena kasih sayang Allah, Allah tutup kejelekan itu. Padahal Allah tidak senang dengan kemaksiatan itu. Allah marah dengan kejelekan itu. Walaupun demikian, Allah tetap menutupi kejelekan itu supaya tidak banyak manusia yang mengetahui kejelekan anda. Dalam doa Kumayl, terucap, betapa banyak kejelekan yang telah Engkau sembunyikan dariku, dan betapa pujian yang bagus telah Engkau sebarkan”.
Masih terkait dengan kasih sayang Allah, Cak Nun pun menggambarkan, bagaimana Tuhan masih mengendalikan seluruh kehidupan hingga kini, tidak lepas dari kasih sayang-Nya.
Tulis Cak Nun: “Dengan amat setia Allah menerbitkan matahari tanpa peduli, apakah kita pernah mensyukuri terbitnya matahari atau tidak. Allah memancarkan cahaya matahari tanpa menghitungnya dengan pengkhianatan yang kita lakukan atasnya setiap hari. Allah memelihara kesehatan tubuh kita dari detik ke detik, meskipun ketiga bangun pagi hanya ada satu dua belaka hambanya yang mengucapkan syukur bahwa matanya masih bisa melek.
Lanjut Cak Nun: “Allah sendiri berpuasa. Kalau tidak, kita sudah dilenyapkan olehnya hari ini, karena sangat banyak alasan rasional untuk itu”.
Kutipan di atas, penulis ambil dari buku karya Cak Nun, berjudul: “Tuhan pun Berpuasa” (1998). (**/Penulis, Pemerhati Sosial-Keagamaan)