Opini  

Putusan Self-Executing Mahkamah Konstitusi Dan Demokrasi Konstitusional

Oleh Dr. Sahran Raden, S.Ag, SH, MH ( Pengajar Hukum Konstitusi Pada Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu )

Mahkamah Konstitusi
Dr. Sahran Raden (FOTO:IST)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang menyatakan Pasal
40 ayat (1) dan ayat (3) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi pasal dan norma Undang Undang yang bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam putusan tersebut, Mahkamah memberikan rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah gubernur, bupati, dan walikota. Putusan Mahkamah Konstitusi ini setidak tidaknya telah mengembalikan demokrasi dan kedaulatan rakyat di aras lokal. Putusan Mahkamah Konstitusi Pilkada telah memberikan kesempatan yang sama terhadap semua calon yang mendaftarkan diri di KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Pilkada sebagai arena kompetisi para calon kepala daerah, diharapkan menjadi arena kompetisi demokrasi konstitusional yang memberikan harapan baik bagi Masyarakat di daerah.

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi, selajutnya terjadi kegaduhan konstitusi, disebabkan Panja DPR melakukan revisi terhadap Undang Undang Pilkada dengan merubah norma putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak selaras denga isi dan substansi pada putusan Mahkamah Konstitusi.

Kegaduhan konstitusional itu lebih dikatakan sebagai pengingkaran konsitusi terhadap demokrasi konstitusional. Dampak adanya tindakan DPR yang dianggap menjadi sikap pengingkaran terhadap konstitusi telah menimbulkan korban bagi mahasiswa dan masyarakat dalam memperjuangkan demokrasi konstitusional. Ironi memang selalu saja perjuangan demokrasi dari rakyat selalu memakan korban. Begitu mahalnya demokrasi yang berkedaulatan rakyat bagi negara demokrasi kita.

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Dua doktrin bernegara ini menjadi landasan konstitusional dalam menyelenggarakan pemerintahan dan membangun relasi lembaga negara sesuai fungsi dan kewenangannya.

Pasca reformasi bahwa gagasan membatasi kekuasaan dibuat untuk melawan kekuasaan yang membabi-buta. Di masa kolonialisme, penguasa tanpa segan memperkaya diri di atas penderitaan rakyat jelata. Untuk alasan itu para pendiri Indonesia membangun konstitusi yang membatasi kekuasaan dengan aturan main yang disepakati bersama. Kita menyebutnya konstitusionalisme.

Karena itu, jelas konstitusi bukan sekadar teks kumpulan pasal yang bisa diubah
semau penguasa untuk kepentingan politik mereka. Konstitusi adalah pernyataan
tertulis tentang jalan politik sebuah bangsa. Salah satunya dalam membatasi
kekuasaan, yang menjadi pedoman bersama mengatur kehidupan orang banyak.ha

Api politik dan konstitusi bukan matematika, apalagi sekadar permainan bahasa. Politik seharusnya memakai dasar ideal-ideal tentang bagaimana menjalankan sebuah negara. Suatu negara bisa dikatakan demokratis bila pemilu atau pilkada sebagai dua rezim demokrasi ini dilakukan secara rutin. Rutinitas ini harus, karena demokrasi membutuhkan penggantian kepemimpinan. Kepemimpinan bukan sekadar
siapa, tapi tentang ruang-ruang politik dan penyelenggaraan kekuasaan yang
diperbarui secara berkala. Sebab, demokrasi tak hanya membicarakan seorang presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota tapi keseluruhan jaringan kekuasaan yang berkelindan di sekitarnya.

Sifat keberlakuan Putusan MK dan Eksistensi Sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator

Tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi mencerminkan demokrasi konstitusional, meskipun Mahkamah Konstitusi sebagai satu satunya lembaga negara yang memiliki kekuasaan kehakiman yang diberi tugas untuk menjaga konstitusi Indonesia. Pasang surut putusan Mahkamah Konstitusi juga banyak yang dikritik tidak mencerminkan demokrasi konstitusional yang sesungguhnya.

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan melakukan pengujian undang undang terhadap UUD NRI 1945, yang putusannya bersifat final dan mengikat, serta sifat berlakunya sesuai dengan asas erga omnes.

Itu artinya, terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi telah tertutup segala bentuk upaya hukum dan harus dipatuhi oleh siapapun. Konstitusi sebagai lembaga peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi mempunyai beberapa karakter khusus yang berbeda dengan peradilan umum. Kekhususan tersebut terletak pada sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat serta berlaku sesuai asas erga omnes Pada Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya tidak mengatur mengenai batasan-batasan dalam memutus perkara pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut menyebabkan
sering kali MK mengeluarkan putusan dalam perkara pengujian undang-undang
melampaui kewenangannya sebagai negative legislator (membatalkan norma) dan membuat putusan-putusan yang mengambil alih fungsi legislasi atau pembuat undang-undang dengan merumuskan norma baru di dalamnya (positive legislator).

Perlu diketahui bahwa perumusan norma undang-undang menurut sistem UUD 1945 didelegasikan kepada DPR bersama Presiden atau Pemerintah. Sedangkan
Mahkamah Konstitusi hanya bertugas menguji yakni antara lain dengan membatalkan suatu undang-undang apabila isi, materi, rumusan pasal dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan norma-norma dalam Konstitusi. Dengan demikian, sebenarnya Mahkamah Konstitusi perlu membatasi dirinya hanya sebagai pembatal norma dan tidak menempatkan dirinya sebagai perumus norma baru karena haltersebut merupakan kewenangan DPR bersama Presiden/Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.

Sifat Berlaku Putusan Mahkamah KonstitusiSebagai lembaga peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi mempunyai beberapa karakter khusus yang berbeda dengan peradilan umum. Kekhususan tersebut terletak pada sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat serta berlaku sesuai asas erga omnes.

Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat melahirkan
sejumlah akibat hukum yang harus dipatuhi layaknya undang-undang. Status putusan Mahkamah Konstitusi dianggap sederajat dengan undang-undang, karena putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu pasal tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang ditentukan oleh UUD NRI 1945 sebagai final. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan pertama dan terakhir
yang terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum.

Tatkala suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing, dalam artian, putusan itu terlaksana dengan sendirinya. Ini terjadi karena norma yang dinegasikan tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat diperlakukan secara otomatis tanpa perubahan undang-undang yang memuat norma yang diuji tersebut, ataupun tanpa memerlukan tindak lanjut dalam bentuk perubanan undang-undang yang diuji. Undang-undang yang telah dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi tersebut tidak menimbulkan kekosongan hukum. Umumnya putusan self-executing tidak perlu ditindaklanjuti lembaga lain, dalam hal ini langsung berlaku.

Belum semua putusan Mahkamah Konstitusi dipatuhi pembuat undang-undang. Padahal, sesuai UUD 1945, putusan MK bersifat final, selain pertama dan terakhir. Tindakan DPR dan Pemerintah melakukan revisi terhadap UU Pilkada dengan merubah norma putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU/2024, sebagai tindakan yang tidak mencerminkan kesadaran dan ketaatan terhadap konstitusi. Dalam konteks ini sebaiknya DPR dalam merumuskan kaidah norma dalam revisi UU Pilkada merumuskan kaidah dan norma sebagaimana putusan MK dalam Judicial
Reviu Pasal 40 ayat 1 dan 3 UU Pilkada. Sebagai kesadaran konstitusional dan
penghormatan terhadap putusan MK sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang
diatur dalam UUD 1945.

Sifat berlakunya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat melahirkan sejumlah akibat hukum yang harus dipatuhi layaknya undang-undang.
Status putusan Mahkamah Konstitusi dianggap sederajat dengan undang-undang, karena putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu pasal tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan (Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003).

Putusan MK, Wajib di Tindaklanjuti KPU
Sedari awal, sejak putusan MK nomor 60/PUU/2024 dibacakan oleh Mahkamah, saya sudah menyatakan dan berpendapat bahwa KPU wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat dikatakan sebagai putusan self-executing yang sifatnya serta merta ditindaklanjuti oleh addressat putusan.

Mahkamah Konstitusi memang tidak punya perangkat atau alat untuk mengeksekusi atau melakukan daya paksa terkait pelaksanaan Putusan MK. Pelaksanaan Putusan MK pada akhirnya semua berpulang pada kesadaran warga negara untuk melaksanakannya. Mahkamah Konstitusi tidak punya jangkauan perangkat atau aparat yang bisa mengeksekusi atau menegur (lembaga negara) terkait Putusannya.
Dalam konteks hukum bahwa putusan Mahkamah Konstitusi paling tidak dibagi
menjadi dua jenis.

Pertama, putusan yang secara langsung dapat dilaksanakan sejak putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap (self-executing). Artinya, putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang telah diuji. Karakter putusan yang demikian pada umumnya putusan yang hanya meniadakan suatu undang-undang baru, karena keberadaannya tidak berkaitan dengan kasus-kasus konkret.

Kedua, putusan yang membutuhkan tindak lanjut tertentu (non-self executing). Bentuk pada putusan ini harus menunggu perubahan atas undang-undang yang telah dibatalkan jika addressat putusan tersebut berkaitan dengan legislatif. Sedangkan
putusan yang menjadikan lembaga eksekutif sebagai addressat putusannya,
dibutuhkan prosedur-prosedur birokratis agar putusan tersebut dilaksanakan secara konsekuen.

Maka itu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU/2024 sebagai putusan yang secara langsung dilaksanakan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat kepada KPU sebagai addressat putusan. Meskipun secara formil, KPU selanjutnya
melakukan konsultasi dan harmanonisasi bersama DPR dan Kemekumham. Namun
demikian sifat konsultasi KPU kepada DPR itu bukanlah mengikat. Kewajiban
konsultasi terhadap Peraturan KPU dengan pemerintah dan DPR tidak mengikat, ini
dilakukan hanya sebagai tatacara formil semata. Prinsip paling mendasar bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat nasional dan mandiri dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya. Maka itu KPU sebagai addressat putusan
Mahkamah Konstitusi perlu secepatnya merevisi Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Pilkada serentak 2024.(***)